Cerita sebelumnya:
Aira mengunjungi Elsa, sepupunya di Kampung Moni, Flores. Di perjalanan, turis Denmark bernama Jeany memberinya kamboja keberuntungan berkelopak enam. Aira dan Elsa berencana pergi ke Danau Kelimutu. Kata Elsa, mereka bisa mendengar kicau burung arwah.
Aira memandangi perlengkapan di kamar Elsa. Seprai, sarung bantal, sarung guling, taplak meja, tirai. Semua menggunakan kain bermotif tenun Flores. Cantik sekali.
“Lihat, ini hasilku belajar menenun!” Elsa memamerkan sehelai selendang bermotif bunga-bunga. “Anak perempuan Flores harus bisa menenun.”
“Cantik sekali!” puji Aira kagum.
“Untukmu.”
Mata Aira terbelalak. “Wah, terima kasih! Aku jadi kepingin belajar menenun juga.”
“Kalau begitu, mestinya kamu sebulan di sini, Aira,” canda Elsa.
Nyanyian di Balik Kabut (2) diilustrasi oleh Jenny. |
Bertemu dengan Elsa, membuat capek Aira menguap. Mereka berdua mengobrol sampai larut malam. Akibatnya, keesokan harinya, mereka bangun kesiangan.
“Hah, jam delapan?! Airaaa! Kita terlambat.”
Aira membuka matanya yang masih terasa berat. “Terlambat? Hari ini libur, kan?”
“Kita, kan, mau ke Kelimutu!”
Aira langsung meloncat bangun. Kalau ingin melihat matahari terbit, mestinya mereka berangkat sebelum pukul lima pagi.
“Enggak apa-apa, deh! Sebentar saja kita ke sana, sebelum kabut turun. Semoga kita masih sempat bertemu burung arwah.”
Elsa dan Aira memilih berjalan kaki menuju Kelimutu. Agak jauh, memang. Tetapi, hawa yang segar, dengan sinar matahari yang hangat membuat mereka nyaman berjalan kaki. Lagipula, mereka telanjur kesiangan, malah jadi lebih santai.
Setengah jam mereka berjalan, sampailah ke Danau tiga warna. Aira memandang dengan takjub.
Tiwu Ata Polo dan Tiwu Ko'o fai Nuwa Muri. |
“Ada kepercayaan, kalau kita memanggil nama leluhur sampai tiga kali di depan Tiwu Ata Mbupu, arwah mereka akan datang melalui mimpi. Biasanya, orang-orang di sini melakukannya ketika mereka tertimpa musibah atau kehilangan sesuatu.”
“Oya, kalau kamu melempar batu ke danau, tidak akan pernah sampai. Cobalah! Batu yang kamu lempar, pasti akan hilang begitu saja.”
Aira penasaran. Dia mencari batu kecil, lalu melemparnya ke danau. Aira menunggu sesaat. Aneh. Batu kecil itu seperti lenyap begitu saja.
Anak-anak Kelimutu berangkat ke sekolah. |
“Lalu, tentang …. “ Aira ragu-ragu.
“Burung arwah?” potong Elsa.
Aira mengangguk. Elsa terdiam. “Coba, dengarkan baik-baik!”
Cuk! Cuk! Cuk! Aira baru sadar dengan kicauan itu. Kicauan yang merdu dan ramai. Menurut Aira, enggak pas kalau namanya burung arwah. Kicauannya terdengar gembira. Aira memandang berkeliling ke atas.
“Mereka jarang terlihat, makanya sering disebut burung arwah. Kicauannya ramai, tetapi mereka sendiri tak muncul. Mereka punya belasan jenis kicauan. Kadang terdengar gembira. Kadang seperti menyayat hati.”
“Burungnya besar, ya?”
Elsa tertawa. “Hanya sebesar burung gereja. Nama sebenarnya burung garugiwa. Semoga besok kita bisa melihatnya, ya!”
Peringatan dalam bahasa Lio. |
Tahu-tahu, Aira tertawa. “Perutku bunyi.”
Elsa ikut tertawa. “Pantas saja. Sudah jam sebelas. Kabut mulai tebal. Yuk, mampir ke warung Paman Berto! Paman Berto jualan sup mi di bawah.”
Sup mi itu seperti mi rebus, tetapi ditambahi aneka sayuran. Sup mi hangat di tengah hawa dingin Kelimutu membuat perut Aira dan Elsa terasa hangat.
“Jadi, kamu sepupu Elsa?” Paman Berto memandang Aira sambil tersenyum. “Mau minum apa, kopi atau teh?”
“Kami tidak terbiasa minum kopi, Paman,” sahut Elsa.
Paman Berto tertawa. “Kamu suka melihat Kelimutu? Sudah mendengar dongengnya dari Elsa? Sudah bertemu garugiwa?”
Aira sibuk mengangguk dengan mulut penuh mi. “Garugiwa yang belum ketemu.”
“Sudah kesiangan. Mereka biasanya hanya muncul sampai jam sepuluh pagi. Ini hampir jam duabelas.”
Baru selesai Paman Berto berbicara, terdengar suara menyayat hati. Wuuu! Wuuu! Wuuu! Baik Paman Berto maupun Elsa langsung terdiam terpaku. Aira melihat wajah keduanya yang terlihat tegang. Ada apa dengan mereka? Apakah ada hubungannya dengan kicau garugiwa yang baru saja terdengar? Kenapa garugiwa berkicau di tengah hari? Perasaan Aira jadi tidak enak.
(bersambung)
- cerita ini dimuat di Majalah Bobo No. 34/XLII
Posting Komentar
Posting Komentar