Penulis : Tyas Widjati
Ilustrator : Feelish
Penerbit : Lingkarantarnusa
Tahun terbit : 2021
Buku ini bercerita tentang petualangan Lea, seorang anak Indonesia yang “terpaksa” ikut mamanya melanjutkan studi ke Irlandia. Lea tak suka Irlandia, yang membuatnya kangen pada Indonesia, kangen pada Kakung yang sedang sakit, kangen pada Papa yang telah berpisah darinya dan diam-diam sering dia temui, kangen pada Mama yang meskipun setiap hari ada di dekatnya tetapi terlalu sibuk untuk berbagi perasaan.
Namun, petualangan di
dunia bawah Irlandia menawarkan pengalaman berbeda pada Lea. Awalnya, Lea hanya
berniat mengejar Ophelia, si kucing ajaib. Tiba-tiba, pohon yang rakus telah
menelannya dan membawanya bertualang bersama kedua temannya, Siobhan dan Fionn di dunia bawah Irlandia. Berbagai kejadian aneh harus mereka hadapi. Bahkan,
Lea nyaris terjebak di rumah Mary, peri berdarah hijau yang takut dengan besi. Sungguh,
ini petualangan yang mendebarkan dan mengaduk emosi, dengan ending yang mulus
dan meninggalkan kesan mendalam di hati.
Membaca LEA membuat
saya tahu ke mana harus pergi kalau saya sedang mengunjungi Irlandia. Misalnya,
saya jadi pengen ke Taman King’s Inn untuk melihat the Hungry Tree, si pohon
rakus pemakan kursi atau ke Hill of Tara mencari pohon peri yang dipercaya
sebagai pintu gerbang menuju dunia bawah. Saya pun jadi tahu mitos-mitos
masyarakat Irlandia yang berbeda dengan Indonesia. Kalau di Indonesia gagak
dipercaya sebagai pertanda kematian, ternyata di Irlandia keberadaan koloni
gagak malah dianggap membawa keberuntungan. Banshee-lah yang dipercaya
mengabarkan kematian. Saya juga jadi kenal kebiasaan orang-orang Irlandia,
misalnya suka menyeruput minuman saat masih panas atau melepas jaket saat masuk
ke rumah orang.
Meskipun mengambil
setting Irlandia dan banyak bercerita tentang Irlandia, LEA tak meninggalkan
Indonesia. Penulis sempat menyebut Lawang Sewu di Semarang dan mengenalkan lagu
Tak Lela Ledhung sebagai pengantar tidur di Jawa. Eh, saya pun kadang masih
memutar lagu ini, lho, sebagai pengantar tidur anak-anak saya.
Tyas, ini beneran buat saya? *tersipu |
Bagi saya, novel LEA
ini komplit. Ada sisi budaya yang diangkat, ada sisi psikologis yang membuat
cerita lebih kuat dan berkesan di hati pembaca, ada misteri yang bikin
penasaran, diselingi dengan humor-humor kecil yang bisa membuat pembaca
tersenyum. Ungkapan-ungkapan semacam “leprechaun tak seimut gambar iklan
pariwisata” atau “suara wanita itu terdengar seperti ombak yang menghampiri
pantai” juga membuat cerita ini jadi unik. Meskipun petualangan cerita ini terasa serius, tetap tak membuat dahi berkerut. Tyas mampu menuliskan
ceritanya dengan bahasa yang ringan dan lancar.
Mencari novel
Indonesia untuk praremaja itu susah. Konon, menurut editor di salah satu
penerbit mayor, pasar untuk segmen ini memang kecil. Makanya, penerbit tidak
mau mengambil risiko. Bersyukur, LEA hadir untuk memperkaya dunia bacaan
praremaja. Saya jadi punya bacaan baru untuk anak saya, yang saya pun bisa ikut
menikmatinya.
Riset yg mendalam. Nah ini penting banget dicatat, agar penulis bisa menghasilkan karya yg memikat dan tidak mengecewakan pembaca. Jadi penasaran dgn karya Tyas Widjati ini, sesuram apa nuansanya, dan bagaimana endingnya..
BalasHapusBetul, Lia. Riset jadi semacam pertanggungjawaban apa yang kita tulis. Nah, kalau penasaran, silakan dibaca... 😉
HapusSuka banget dengan resensi ini. Pikiran saya langsung melejing membayangkan kisah Heidi (di novel Heidi, novel anak) di pegunungan Irlandia. Kebetulan juga, saya penyuka novel anak (terutama yang terjemahan, karena belum menemu karya lokal yang menggugah pikiran). Makasih ya, berarti saya harus segera memiliki buku Lea ini....
BalasHapusMakasih, Mas. Ah, iya, Heidi! Saya baru ingat kalau Heidi juga ber-setting Irlandia, ya. Ingetnya cuma Westlife sama Boyzone aja, haha... Semoga Lea bisa menggugah pikiran dan memberi warna baru, ya 🙂
HapusYup...saatnya, yang lokal tak kalah berbobot dengan karya terjemahan, macam Heidi, Charlotte's Web, Animal Farm, Mark Twain, Jungle Book, maupun Seri Laura... Sungguh, Mbak, saya merindukan karya anak seri Keluarga Cemara-nya Arswendo yang mengisi benak anak.
HapusSebenarnya ada beberapa produk lokal yang tak kalah berbobot juga, sih, Mas. Misalnya novel-novel Mbak Ary NIlandari, atau Serial Misteri-nya Penerbit Kiddo. Tapi, mungkin karena pasar di segmen itu kurang luas, jadi kurang familiar, ya...
Hapuswah ini novel hasil residensi? jadi penasaran. bisa ikut residensi aja keren, dan jadi novel anak tentu lebih keren lagi. masuk list deh
BalasHapusIya, betul Mbak, ini novel residensi. Siapa tahu, dengan baca novel ini, jadi semangat untuk mencoba ikut residensi juga 😊
Hapusaaaaah jadi pingin juga ke Taman King’s Inn uuuyyy...... sama mba vero yuuukk.... kebayang kalau kita sebulan di sana kita nulis cerita apa nih mba pulangnya?....
BalasHapusAyuuuk, Mbak Opi... Hmm... sebulan di sana, pasti pengennya jalan-jalan terus...
Hapussemoga kelakon ya mbaaaaa.... aamiin ya Allah.....
HapusAmiiin
HapusWah...makasih banyak Mba Vero ♥️💚
BalasHapusSama-sama, Tyas. Selamat, ya. Semoga anak-anak suka buku ini ^^
HapusBuku tuh asyiknya riset nya super Mendalam, jd pembaca betah untuk stay di dalam imajinasi bukunya. Wah aku jadi penasaran sama petualangan Lea. Inget film Alice in Wonderland juga
BalasHapusSetuju, Mbak. Kita jadi berasa ikut bertualang, ya. Eh, sama lho, aku pertama baca juga langsung inget Alice, hehe...
Hapussaya malah kagum loh Mbak kalau ada segmentasi bacaan untuk praremaja, berarti memang disiapkan sesuai usia nereka. kalau dulu saya bacanya teenlit padahal belum masih teenagers. jadi pengen tau seperti apa gaya khas bacaan untuk praremaja seperti Lea ini.
BalasHapusBuku lokal untuk praremaja sepertinya memang terbatas. Praremaja kira-kira usia sekitar akhir SD sampai awal SMP, ya. Usia tanggung itu. Mau baca buku anak, kok kurang seru. Tapi kalau ke teenlit, belum juga. Anak saya seusia itu, Mbak. Dan ternyata dia memang menikmati novel Lea ini.
Hapusmakasih mbak resensinya, keren banget. jadi penasaran sama bukunya apalagi kalau ada unsur budayanya pasti menarik untuk di baca
BalasHapusSama-sama, Mbak.
HapusBetul, unsur budaya dalam cerita bikin kita tambah "kaya" ^^