Resensi: LEA, di Dunia Bawah Irlandia

20 komentar


Judul                    : LEA di Dunia Bawah Irlandia

Penulis                 : Tyas Widjati

Ilustrator              : Feelish

Penerbit               : Lingkarantarnusa

Tahun terbit         : 2021

Buku ini bercerita tentang petualangan Lea, seorang anak Indonesia yang “terpaksa” ikut mamanya melanjutkan studi ke Irlandia. Lea tak suka Irlandia, yang membuatnya kangen pada Indonesia, kangen pada Kakung yang sedang sakit, kangen pada Papa yang telah berpisah darinya dan diam-diam sering dia temui, kangen pada Mama yang meskipun setiap hari ada di dekatnya tetapi terlalu sibuk untuk berbagi perasaan.

Namun, petualangan di dunia bawah Irlandia menawarkan pengalaman berbeda pada Lea. Awalnya, Lea hanya berniat mengejar Ophelia, si kucing ajaib. Tiba-tiba, pohon yang rakus telah menelannya dan membawanya bertualang bersama kedua temannya, Siobhan dan Fionn di dunia bawah Irlandia. Berbagai kejadian aneh harus mereka hadapi. Bahkan, Lea nyaris terjebak di rumah Mary, peri berdarah hijau yang takut dengan besi. Sungguh, ini petualangan yang mendebarkan dan mengaduk emosi, dengan ending yang mulus dan meninggalkan kesan mendalam di hati.

Salah satu yang membuat saya penasaran pada LEA adalah ketika tahu bahwa LEA ini hasil pengalaman residensi penulis di Irlandia. Tahun 2019, Tyas Widjati, sang penulis memang mendapat kesempatan bertualang sebulan ke Irlandia. Maka, saya yakin, Tyas pasti melakukan riset yang dalam untuk menggarap novelnya. Benar saja, dalam novel ini Tyas begitu detil menggambarkan Irlandia, tak hanya menggunakannya sebagai tempelan tempat belaka.

Membaca LEA membuat saya tahu ke mana harus pergi kalau saya sedang mengunjungi Irlandia. Misalnya, saya jadi pengen ke Taman King’s Inn untuk melihat the Hungry Tree, si pohon rakus pemakan kursi atau ke Hill of Tara mencari pohon peri yang dipercaya sebagai pintu gerbang menuju dunia bawah. Saya pun jadi tahu mitos-mitos masyarakat Irlandia yang berbeda dengan Indonesia. Kalau di Indonesia gagak dipercaya sebagai pertanda kematian, ternyata di Irlandia keberadaan koloni gagak malah dianggap membawa keberuntungan. Banshee-lah yang dipercaya mengabarkan kematian. Saya juga jadi kenal kebiasaan orang-orang Irlandia, misalnya suka menyeruput minuman saat masih panas atau melepas jaket saat masuk ke rumah orang.

Meskipun mengambil setting Irlandia dan banyak bercerita tentang Irlandia, LEA tak meninggalkan Indonesia. Penulis sempat menyebut Lawang Sewu di Semarang dan mengenalkan lagu Tak Lela Ledhung sebagai pengantar tidur di Jawa. Eh, saya pun kadang masih memutar lagu ini, lho, sebagai pengantar tidur anak-anak saya.

Tyas, ini beneran buat saya? *tersipu

Tokoh-tokoh LEA memiliki karakter kuat. Lea yang peragu dan memiliki perasaan halus. Siobhan yang menyukai tantangan. Fionn yang cerdas, tapi kadang-kadang terkesan jadi sok tau. Yang membuat karakter terasa lebih kuat, masing-masing tokoh memiliki sisi psikologis yang memperkaya cerita. Misalnya, Lea yang begitu merindukan papa-mamanya bersatu kembali, membuat dia nyaris terjebak di rumah tua hanya gara-gara hiasan pintu berupa kayu bergambar yang sama dengan tugas sekolahnya beberapa tahun yang lalu.

Bagi saya, novel LEA ini komplit. Ada sisi budaya yang diangkat, ada sisi psikologis yang membuat cerita lebih kuat dan berkesan di hati pembaca, ada misteri yang bikin penasaran, diselingi dengan humor-humor kecil yang bisa membuat pembaca tersenyum. Ungkapan-ungkapan semacam “leprechaun tak seimut gambar iklan pariwisata” atau “suara wanita itu terdengar seperti ombak yang menghampiri pantai” juga membuat cerita ini jadi unik. Meskipun petualangan cerita ini terasa serius, tetap tak membuat dahi berkerut. Tyas mampu menuliskan ceritanya dengan bahasa yang ringan dan lancar.

Ilustrasi karya Feelish yang terkesan sedikit suram dan misterius, menurut saya cocok banget untuk buku ini. Feelish bisa menggambarkan dengan pas adegan yang misterius maupun adegan yang menyentuh emosi.

Mencari novel Indonesia untuk praremaja itu susah. Konon, menurut editor di salah satu penerbit mayor, pasar untuk segmen ini memang kecil. Makanya, penerbit tidak mau mengambil risiko. Bersyukur, LEA hadir untuk memperkaya dunia bacaan praremaja. Saya jadi punya bacaan baru untuk anak saya, yang saya pun bisa ikut menikmatinya.

  

Veronica W
Seorang penulis dan editor yang menyukai dunia anak-anak.

Related Posts

20 komentar

  1. Riset yg mendalam. Nah ini penting banget dicatat, agar penulis bisa menghasilkan karya yg memikat dan tidak mengecewakan pembaca. Jadi penasaran dgn karya Tyas Widjati ini, sesuram apa nuansanya, dan bagaimana endingnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Lia. Riset jadi semacam pertanggungjawaban apa yang kita tulis. Nah, kalau penasaran, silakan dibaca... 😉

      Hapus
  2. Suka banget dengan resensi ini. Pikiran saya langsung melejing membayangkan kisah Heidi (di novel Heidi, novel anak) di pegunungan Irlandia. Kebetulan juga, saya penyuka novel anak (terutama yang terjemahan, karena belum menemu karya lokal yang menggugah pikiran). Makasih ya, berarti saya harus segera memiliki buku Lea ini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Mas. Ah, iya, Heidi! Saya baru ingat kalau Heidi juga ber-setting Irlandia, ya. Ingetnya cuma Westlife sama Boyzone aja, haha... Semoga Lea bisa menggugah pikiran dan memberi warna baru, ya 🙂

      Hapus
    2. Yup...saatnya, yang lokal tak kalah berbobot dengan karya terjemahan, macam Heidi, Charlotte's Web, Animal Farm, Mark Twain, Jungle Book, maupun Seri Laura... Sungguh, Mbak, saya merindukan karya anak seri Keluarga Cemara-nya Arswendo yang mengisi benak anak.

      Hapus
    3. Sebenarnya ada beberapa produk lokal yang tak kalah berbobot juga, sih, Mas. Misalnya novel-novel Mbak Ary NIlandari, atau Serial Misteri-nya Penerbit Kiddo. Tapi, mungkin karena pasar di segmen itu kurang luas, jadi kurang familiar, ya...

      Hapus
  3. wah ini novel hasil residensi? jadi penasaran. bisa ikut residensi aja keren, dan jadi novel anak tentu lebih keren lagi. masuk list deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul Mbak, ini novel residensi. Siapa tahu, dengan baca novel ini, jadi semangat untuk mencoba ikut residensi juga 😊

      Hapus
  4. aaaaah jadi pingin juga ke Taman King’s Inn uuuyyy...... sama mba vero yuuukk.... kebayang kalau kita sebulan di sana kita nulis cerita apa nih mba pulangnya?....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayuuuk, Mbak Opi... Hmm... sebulan di sana, pasti pengennya jalan-jalan terus...

      Hapus
    2. semoga kelakon ya mbaaaaa.... aamiin ya Allah.....

      Hapus
  5. Wah...makasih banyak Mba Vero ♥️💚

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Tyas. Selamat, ya. Semoga anak-anak suka buku ini ^^

      Hapus
  6. Buku tuh asyiknya riset nya super Mendalam, jd pembaca betah untuk stay di dalam imajinasi bukunya. Wah aku jadi penasaran sama petualangan Lea. Inget film Alice in Wonderland juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, Mbak. Kita jadi berasa ikut bertualang, ya. Eh, sama lho, aku pertama baca juga langsung inget Alice, hehe...

      Hapus
  7. saya malah kagum loh Mbak kalau ada segmentasi bacaan untuk praremaja, berarti memang disiapkan sesuai usia nereka. kalau dulu saya bacanya teenlit padahal belum masih teenagers. jadi pengen tau seperti apa gaya khas bacaan untuk praremaja seperti Lea ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku lokal untuk praremaja sepertinya memang terbatas. Praremaja kira-kira usia sekitar akhir SD sampai awal SMP, ya. Usia tanggung itu. Mau baca buku anak, kok kurang seru. Tapi kalau ke teenlit, belum juga. Anak saya seusia itu, Mbak. Dan ternyata dia memang menikmati novel Lea ini.

      Hapus
  8. makasih mbak resensinya, keren banget. jadi penasaran sama bukunya apalagi kalau ada unsur budayanya pasti menarik untuk di baca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Mbak.
      Betul, unsur budaya dalam cerita bikin kita tambah "kaya" ^^

      Hapus

Posting Komentar