Cerita sebelumnya:
Seusai melihat cara membuat tenun ikat, Aira dan Elsa melihat foto-foto yang dibuat Aira di Kelimutu. Elsa menemukan foto bayangan mata burung garugiwa. Anehnya, tatapan mata burung itu seperti tatapan marah.
“Aira! Aira! Bangun, Aira! Kamu harus bangun!”
Elsa mengguncang-guncang tubuh Aira dengan panik. Aira membuka mata dengan malas. Masih pagi sekali. Dan mereka tidak berencana ke mana-mana di pagi buta begini. “Kenapa, Elsa?”
Aira yang baru membuka setengah mata langsung terduduk melihat tampang Elsa yang terlihat tegang. Bahkan, air mata Elsa mulai menetes.
“Elsa! Kenapa, Elsa?”
“Ada orang hilang di Kelimutu. Dia jatuh dari tebing,” cerita Elsa di sela isaknya.
Aira masih kebingungan. Lalu, kenapa? Kenapa Elsa sampai sesedih itu?
“Jeany …. “
Nyanyian di Balik Kabut (5) diilustrasi oleh Jenny. |
Aira tersentak. “Maksudmu? Jeany yang hilang?”
Elsa mengangguk. “Sepertinya begitu. Barusan Paman Berto ke sini memberitakannya.”
Aira termangu. Segera terbayang berbagai adegan yang melintas berurutan. Ketika Aira berkenalan dengan Jeany. Ketika Jeany menyisipkan setangkai bunga kamboja di sakunya. Ketika mereka bertemu lagi di Murundao. Ketika mereka berjalan bersama menuju Kelimutu. Ketika Jeany memotret Aira. Ah, Aira mendesah sedih.
Hari itu, Elsa dan Aira jadi tidak kepingin ke mana-mana. Polisi sempat mampir ke rumah Elsa untuk bertanya tentang Jeany. Paman Berto yang memberitahukan kalau Aira mengenal Jeany. Aira menceritakan semua, apa adanya. Tak banyak membantu, karena Aira memang hanya sepintas mengenal Jeany.
Untuk menghibur diri, Elsa mengajak Aira bermain air di Murundao. Elsa juga mengajak teman-temannya supaya suasana lebih ceria. Tak puas hanya bermain ciprat-cipratan air, mereka bahkan mandi di bawah air terjun. Untuk sesaat, kesedihan tentang Jeany terlupakan.
Dari Murundao, mereka membaca-baca saja di rumah Elsa. Elsa dan teman-temannya senang, mendapat tambahan koleksi buku-buku dari Aira.
Air Terjun Murundao |
Sorenya, Paman Berto sempat mampir ke rumah Elsa, membawa berita terbaru tentang Jeany. Sampai sore itu, jenazah Jeany belum ditemukan.
“Dia memang nekat, naik ke atas tebing yang curam di samping Tiwu Ata Polo untuk memotret,” cerita Paman Berto. “Sempat ada wisatawan yang memberitahu kalau tebing itu tidak boleh dinaiki. Tetapi, dia nekat. Lalu, jatuhlah dia.”
“Tetapi, kalau sudah jelas jatuh di situ, kenapa jenazahnya belum ditemukan, Paman?” tanya Aira penasaran.
“Tidak segampang itu. Kelimutu memang menyimpan banyak misteri. Mungkin arwahnya memang diminta oleh para leluhur. Atau, mungkin dia melakukan sesuatu yang membuat para leluhur marah. Jadi, para leluhur mengambilnya.”
Deg! Tiba-tiba, Aira teringat sesuatu. “Paman, apakah meludah ke arah danau bisa membuat para leluhur marah?”
Paman Berto menoleh. “Siapa yang meludah ke arah danau? Membuat marah atau pun tidak, sungguh tidak sopan kalau ada orang meludah sembarangan.”
Aira pun bercerita ketika dia sempat menegur Jeany yang meludah sembarangan. Paman Berto hanya mengangkat bahu.
“Paman …. “ Elsa terlihat ragu-ragu dengan pertanyaannya. “Apakah garugiwa bernyanyi sedih lagi hari ini?”
Paman Berto menarik napas panjang sebelum menjawab. “Hmm, aku baru ingat, hari ini aku tidak mendengar nyanyian sedih garugiwa. Yang ada hanya nyanyian ceria mereka.”
Danau Kelimutu, Flores, NTT. |
Aira ingat foto garugiwa yang memandang marah pada Jeany. Dia mengambil kamera, ingin menunjukkan foto itu pada Paman Berto. Ketika menemukan foto yang dimaksud, Aira sempat mengamatinya. Hei, mata garugiwa menghilang dari foto itu! Yang terlihat hanyalah daun-daun pepohonan yang menghijau.
Aira mencoba memperbesar tampilan fotonya. Nihil! Sepasang mata garugiwa tetap tak ditemukannya. Air menyerahkan kameranya pada Elsa. Sama saja. Elsa juga tak melihat lagi sepasang mata garugiwa dalam foto itu.
Paman Berto juga mengangkat bahu, tak melihat bayangan garugiwa dalam foto itu. “Mungkin, kalian salah lihat. Atau, karena penasaran, kalian jadi membayangkan ada bayangan garugiwa di situ,” hibur Paman Berto.
Ah, tetapi, Aira dan Elsa yakin, mereka benar-benar melihat bayangan itu.
Spontan, Aira meraba bunga kamboja pemberian Jeany. Aira tersentak. Bunga itu pun telah lenyap dari sakunya.
(Tamat)
* cerita ini dimuat di Majalah Bobo No. 37/XLII
Ceritanya seru, deg-deg-an juga bacanya, soalnya agak serem dikit, hehehe...
BalasHapusSelamat ya, Mbak Veronica, tulisan Mbak memang TOP
Hihi, pakai deg-degan juga ya... Makasih, Mbak. Mbak Dira juga TOP!
BalasHapusmagis kisahnya.. sedih, seram, seru sekaligus
BalasHapusMakasih, Lia ^_^
BalasHapusDulu aku baca cerita ini di majalah bobo, ceritanya membekas sampai sekarang aku sudah tidak langganan majalah bobo lagi.. dan aku rindu cerita ini, aku coba search di google dan senang sekali bisa menemukannya di blog ini♥
BalasHapusSenangnya, cerita ini bisa mengesankan ^^ Makasih, apresiasinya. Makasih juga, sudah mampir di sini, Mbak ...
Hapuspertama kali baca ya di majalah bobo waktu sd dulu, terus langsung suka, ga pernah lupa sama cerbung ini sampe sekarang aku sma:D dulu emang sempet langganna bobo, sekarang majalahnya udah ketumpuk tumpuk di gudang. awalnya cuma iseng nyari judulnya di google. kerennya aku masih inget judulnya dong karena emang sebagus itu ceritanya sampe membekas di aku:) dan ternyata ada dong ceritanya. terimakasih ka veronica, sudah membuat saya dulu menanti nanti hati jumat karena nunggu kiriman majalah bobo untuk baca cerbung iniii...
BalasHapusTerima kasih apresiasinya. Terima kasih juga, sudah mampir dan membaca di sini ^^
Hapusdulu aku baca cerita ini di majalah bobo, waktu aku masih kecil. Jujur aja aku seneng banget bisa baca ini lagi, dan juga aku pengin banget ke kelimutu karena baca cerita kakak. Makasih kak
BalasHapusWah, terima kasih, sudah membaca dan menyukai cerita ini, Annisa. Semoga keinginanmu untuk jalan-jalan ke Kelimutu bisa terwujud, ya. Kalau ada kesempatan, aku pun ingin ke sana lagi 😊
Hapus